Katekese BKSN 2022 Pertemuan I - Baca Ini Dulu
Di bawah tema umum Bulan Kitab Suci Nasional Tahun 2022; ALLAH SUMBER HARAPAN HIDUP BARU, sub tema bahan katekese pertemuan pertama adalah ALLAH SUMBER HARAPAN UNTUK MENANGKIS MENTALITAS KEAGAMAAN PALSU dengan terang Sabda Tuhan: “Carilah Aku, maka kamu akan hidup!” (Amos 5:4). Melalui sub tema ini, umat Katolik Indonesia diajak untuk melihat kembali praktik kehidupan keagamaan yang telah dilakoni selama masa pandemi. Apakah kita cukup setia pada ajaran dan tata cara yang diajarkan Gereja kepada kita? Apakah kita sungguh-sungguh mencari Tuhan di tengah perubahan-perubahan cara dan sarana dalam beribadah kepada-Nya? Ataukah kita hanya menjalankan tata cara beribadah kita, sedangkan hati kita jauh dari-Nya? Apakah sikap hidup kita menampakkan iman kita yang nyata? Becermin pada teks Am. 5:4-6, kita dituntun untuk mencari Tuhan agar kita tetap hidup, baik kini maupun kelak.
Lihat juga: Gagasan Pendukung Bahan Katekese BKSN 2022
Berikut ini adalah
tinjauan biblis oleh RP. Petrus Cristologus Dhogo, SVD untuk bahan Katekese
pertemuan pertama yang diambil dari Buku Panduan Katekese BKSN 2022, Lembaga
Biblika Indonesia.
Lihat juga: Mengenal Metode Katekese BKSN 2022
Teks Amos 5:4-6
Sebab beginilah firman TUHAN kepada kaum Israel: “Carilah Aku, maka
kamu akan hidup! 5Janganlah kamu mencari Betel, janganlah pergi ke Gilgal
dan janganlah menyeberang ke Bersyeba, sebab Gilgal pasti masuk ke dalam
pembuangan dan Betel akan lenyap.” 6Carilah TUHAN, maka kamu akan
hidup, supaya jangan Ia memasuki keturunan Yusuf bagaikan api, yang memakannya
habis dengan tidak ada yang memadamkan bagi Betel.
Penafsiran Teks
Konteks
Amos 5:4-6 merupakan salah satu bagian dari rangkaian yang panjang Am.
5:1-17 yang berisikan kumpulan seruan kepada orang Israel agar bertobat. Seruan
ini dimulai dengan undangan awal pada ay. 1-2 yang menubuatkan tentang hal
buruk yang akan menimpa Israel jika mereka tidak bertobat. Secara bertahap,
Tuhan meminta mereka untuk meninggalkan berhala dan mencari Dia (ay. 4-6),
melakukan keadilan (ay. 7-13), mencari yang baik dan membenci yang jahat (ay.
15-16), sebelum tibanya hari Tuhan (ay. 16-17). Karena itu, Am. 5:4-6 merupakan
ajakan untuk meninggalkan segala yang lain untuk hanya mencari Tuhan sebagai
satu-satunya harapan dan pegangan hidup orang Israel.
Perikop ini tersusun dengan baik. Pada ay. 4 dan 6 disebutkan ungkapan
“carilah Tuhan, maka kamu akan hidup”. Kedua ayat ini membungkus ay. 5 yang
berkonsentrasi pada larangan untuk mencari tempat-tempat yang mengalihkan
perhatian orang Israel dari pertemuan sejati dengan Tuhan. Ketiga tempat itu,
yakni Betel, Gilgal, dan Bersyeba, memang dikenal sebagai tempat-tempat untuk
mempersembahkan kurban.
Lihat juga: Cara paling mudah menjadi fasilitatorKatekese Umat Katolik
Betel yang berarti “rumah Allah” merupakan sebuah tempat kudus yang
sudah lama dikenal sejak Yakub (Kej. 28:10-22; 31:13; 35:7). Sebelum ada-nya
kenisah di Yerusalem, Betel menjadi tempat di mana orang mempersembahkan
kurban. Samuel sendiri mengunjungi tempat ini setiap tahun (1Sam. 7:16; 10:3).
Ketika kerajaan Israel terpecah menjadi dua, Betel menjadi tempat kebaktian
bagi masyarakat di kerajaan bagian utara. Sayangnya, di tempat kudus ini
didirikan patung anak lembu emas (1Raj. 12:28-30). Itulah sebabnya para nabi
memberikan kritik bahwa di sana berlangsung praktik penyembahan berhala (Hos.
10:5; Yer. 48:13). Salah satu larangan untuk pergi ke Betel terungkap di Am.
5:5 ini.
Lihat juga: Berbagai teks partitur lagu Misa Katolik
Gilgal merupakan tempat berkumpulnya orang Israel ketika mereka
menyeberangi Sungai Yordan untuk merebut tanah Kanaan (Yos. 4:19). Di tempat
ini pula mereka menyunat orang-orang Israel yang belum disunat agar mereka
dikuduskan (Yos. 5:9). Untuk mengenang penyeberangan Sungai Yordan, mereka
lalu mendirikan dua belas batu peringatan di tempat ini (Yos. 4:20). Jadi,
Gilgal mengingatkan orang Israel akan peralihan dari Mesir memasuki Tanah
Perjanjian.
Foto: Pixabay |
Sementara itu, Bersyeba merupakan nama tempat di bagian paling selatan, yang biasanya bersamaan dengan Dan di utara dipakai sebagai penanda wilayah Israel dalam ungkapan “dari Dan sampai Bersyeba” (Hak. 20:1). Abraham pernah tinggal di sini (Kej. 22:19), demikian juga Ishak (Kej. 28:10), sedangkan Yakub berhenti di sini untuk mempersembahkan kurban (Kej. 46:1).
Penyebutan nama tempat-tempat itu bermaksud mengingatkan orang Israel
bahwa Tuhan tidak dapat dicari di tempat-tempat tertentu dengan harapan kosong.
Yang paling penting adalah keterbukaan hati dalam mencari Tuhan dengan
sungguh-sungguh. Itulah sebabnya ung-kapan “carilah Tuhan” disebutkan dalam
perikop ini dua kali. Dengan menyatakan ungkapan “carilah Tuhan, maka kamu akan
hidup” sampai dua kali, perikop ini sebenarnya mau menegaskan bahwa hanya
Tuhanlah yang menjamin kehidupan. Iman yang sejati terletak dalam pencarian
akan Tuhan dan semangat untuk meninggalkan berhala-berhala yang menjadi
kesenangan diri sendiri.
Membaca teks secara mendalam
Carilah Tuhan
Ungkapan “carilah Tuhan” memiliki beberapa pengertian. Pertama, ini
merupakan undangan untuk menyembah hanya kepada Tuhan. Bangsa Israel hanya
memiliki Tuhan sebagai Allah mereka yang dimeteraikan dalam perjanjian di
Sinai. Isi perjanjian tersebut adalah: Tuhan menjadi Allah mereka dan mereka
menjadi umat-Nya (Kel. 6:6; bdk. Yer. 30:22). Ungkapan “mencari Tuhan” bukan
berarti Tuhan menghilang, atau mereka tidak mengetahui lagi di mana Tuhan
berada. Tuhan tetap ada. Melalui ungkapan atau perintah ini, orang Israel
diundang untuk kembali kepada komitmen atau perjanjian awal mereka, yakni untuk
menyembah hanya kepada Tuhan saja. Mereka tidak perlu mencari ilah lain,
tetapi hanya perlu kembali kepada Tuhan yang selalu menanti mereka.
Kedua, ungkapan “carilah Tuhan” serentak pula mengandung makna bahwa
orang Israel sedang tidak setia pada janji mereka sendiri. Mereka perlu
diingatkan untuk kembali menemui Tuhan, Allah mereka. Boleh jadi mereka sedang
menyembah banyak ilah dan menempatkan Tuhan sebagai salah satu dari sembahan
tersebut, atau malah Tuhan disingkirkan dan digantikan dengan deretan ilah yang
baru. Karena itu, ungkapan “carilah Tuhan” sebenarnya meminta pertobatan orang
Israel (lih. pula Ul. 4:29; 1Taw. 16:10-11; 2Taw. 15:12-13). Pertobatan ini
perlu diser-tai dengan tindakan nyata untuk mengunjungi Bait Suci (Ul. 12:5;
2Taw. 11:16), tempat yang menandakan kehadiran Allah di tengah mereka. Me-reka
juga diminta untuk mendengarkan sabda-Nya dan menaati perintah-perintah-Nya.
Mencari Tuhan berarti mencari apa yang dikehendaki-Nya.
Maka kamu akan hidup
Memperoleh kehidupan merupakan buah dari pencarian akan Tuhan. Pada
ayat sebelumnya disebutkan bahwa kaum Israel akan ba-nyak yang mati ketika
mereka maju berperang (ay. 3). Mereka terkapar dan tidak ada yang membangkitkan
mereka (ay. 2). Ini terjadi karena mereka tidak mengandalkan Tuhan dalam
kehidupan.
Ketika orang Israel melakukan kesalahan, mereka menjauhkan diri mereka
dari Tuhan dan dari kehidupan. Tentang hal ini, kisah kejatuhan manusia
pertama menjadi contoh bahwa mengabaikan perintah Tuhan akan menjauhkan
seseorang dari kehidupan. Setelah mereka makan dari buah pohon pengetahuan,
mereka pun dihalau keluar dari Taman Eden dan Tuhan menempatkan beberapa kerub
dengan pedang bernyala-nyala untuk melindungi pohon kehidupan (Kej. 3:22-24).
Untuk memperoleh kehidupan, manusia harus mencari Tuhan, menaati perintah-Nya,
dan bergantung kepada-Nya.
Ketika hendak memasuki Kanaan, orang Israel diingatkan lagi untuk setia
kepada Tuhan. Kesetiaan kepada Tuhan akan menentukan nasib mereka. Yang setia
akan memperoleh kehidupan dan yang tidak setia akan dihadapkan pada kematian
(Ul. 30:15-20). Kehidupan hanya bisa diperoleh ketika orang Israel mendekatkan
diri mereka kepada sang Pemilik Kehidupan dan menyembah hanya kepada-Nya saja.
Pada perikop ini, kehidupan dihubungkan dengan upaya pencarian akan
Tuhan. Mencari Tuhan berarti mencari kehidupan. Tuhan adalah Pencipta, maka
Dialah sumber kehidupan. Kehidupan hanyalah sebuah konsekuensi dari kedekatan
dengan Tuhan. Karena Tuhan adalah sumber kehidupan, semua yang dekat dengan-Nya
akan memperoleh kehidupan juga.
Jangan mencari Betel, Gilgal, dan Bersyeba
Dengan sengaja, Nabi Amos memilih kata kerja “mencari” dalam kalimat
ini. Pada ayat sebelumnya, kata ini dipakai dalam bentuk imperatif atau
perintah “carilah Aku”. Kini, kata kerja ini dipakai dalam bentuk larangan
“jangan mencari Betel”. Kalimat ini memiliki dua pengertian berikut. Pertama,
yang seharusnya dicari adalah Tuhan. Betel, Gilgal, dan Bersyeba merupakan
tempat-tempat yang mengingatkan orang akan Tuhan. Betel adalah tempat Yakub
bermimpi melihat malaikat Allah turun naik dari langit dan Tuhan sendiri
berbicara kepadanya. Dia pun membuat tugu peringatan di tempat tersebut (Kej.
28:18). Hal serupa terjadi dengan Gilgal yang menjadi tempat orang Israel
berkumpul setelah menyeberangi Sungai Yordan dan mendirikan dua belas batu peringatan
(Yos. 4:19-20). Di tempat tersebut, mereka menyunat semua orang yang belum
disunat (Yos. 5) sebagai tanda pembaruan perjanjian dengan Tuhan. Sementara
itu, Bersyeba merupakan tempat di mana Abraham tinggal (Kej. 22:19).
Tempat-tempat tersebut bukanlah tujuan akhir dari penziarah-an iman.
Yang dicari hendaknya bukan tempat, melainkan Tuhan. Karena itu, padanan yang
disebutkan dalam perikop ini adalah “carilah Tuhan” dan “janganlah mencari
Betel”. Padanan ini tidak biasa, sebab kata kerja umumnya tidak langsung
diikuti dengan nama tempat. Namun, hal itu disengaja. Kontrasnya sangat jelas:
“Carilah Tuhan dan hiduplah! Namun, jangan mencari (nasihat di) Betel.” Tuhan
haruslah menjadi subjek dari setiap pencarian iman, alih-alih tempat atau
media.
Orang bisa pergi ke Betel yang adalah “rumah Allah”, tetapi yang ia
cari seharusnya adalah Tuhan. Ia harus memiliki semangat untuk menjumpai
Tuhan, dan tidak menjadikan perjalanannya ke tempat tersebut sebagai wisata
rohani. Yang dicari di Betel adalah Tuhan, alih-alih ba-ngunan atau tempat itu
sendiri. Pengultusan terhadap tempat tertentu hanya akan menjauhkan orang dari
Tuhan. Tempat-tempat itu mestinya menjadi pengingat setiap orang akan kehadiran
Tuhan. Mengunjungi tempat-tempat tersebut mesti dilandasi oleh semangat untuk
mencari dan menemui-Nya. Tempat-tempat itu sendiri suatu ketika pasti akan
ditinggalkan atau lenyap. Hanya Tuhan yang abadi.
Kedua, Betel, Gilgal, dan Bersyeba adalah tempat terjadinya
sinkretisme. Pada masa Amos, tempat-tempat ini sudah tidak lagi menjadi tempat
yang suci. Betel dan Gilgal, misalnya, sudah menjadi tempat berlangsungnya
pemujaan berhala. Oleh Raja Yerobeam, di Betel diba-ngun patung anak lembu emas
yang menjadikan tempat tersebut sebagai tempat berhala (1Raj. 12:28-30). Betel
tetap menjadi tempat penziarahan, tetapi tidak lagi memainkan peranan sebagai
rumah Tuhan. Ketika orang menuju ke Betel, bukan Tuhan yang mereka cari,
melainkan ilah-ilah lain. Di Gilgal pun terjadi hal yang sama.
Kedua tempat ini disinggung Amos di Am. 4:4-5 sebagai tempat orang
melakukan kejahatan. Orang Israel, khususnya mereka yang memiliki kuasa,
datang ke situ membawa kurban bakaran, tetapi pada saat yang sama mereka
melakukan penindasan.
Sementara itu, Bersyeba yang berada di bagian paling selatan disebut
dengan ungkapan “janganlah menyeberang ke Bersyeba”. Tidak ada catatan khusus
tentang tempat ini sebagai tempat mempersembahkan kurban. Penyebutan Bersyeba
lebih disebabkan karena letaknya yang berbatasan dengan wilayah lain. Bangsa
Israel diharapkan tidak menyeberang kepada bangsa asing untuk mencari ilah
yang lain, termasuk sekadar mengikuti gaya hidup bangsa-bangsa lain. Mereka
harus tetap setia kepada Tuhan dengan mengikuti perintah-perintah-Nya.
Api yang tak terpadamkan
Pemakaian kata “api” untuk menggambarkan keruntuhan kota selalu
dikaitkan dengan peperangan. Ketika sebuah kota jatuh ke tangan musuh, kota itu
akan dibakar supaya musnah. Praktik seperti ini lazim ditemukan di dunia kuno.
Ketika orang Israel memasuki tanah Kanaan, mereka memerangi kota Yerikho. Kota
ini jatuh ke tangan mereka dan mereka pun membakarnya (Yos. 6:24). Yerusalem
sendiri ketika jatuh ke tangan Nebukadnezar juga dibakar habis oleh tentara
Babel (Yer. 39:8). Karena itulah, “api” juga menjadi simbol pemusnahan yang
dilakukan Tuhan dan penghakiman yang dijatuhkan-Nya.
Nabi Amos mengingatkan orang Israel untuk menyembah hanya kepada Tuhan.
Jika tidak, Tuhan akan mendatangi mereka bagaikan api. Api itu akan memakan
habis, membasmi, dan tidak akan ada bisa memadamkannya. Betel yang menjadi
tempat yang dikuduskan bagi-Nya juga akan turut Ia musnahkan. Itulah nasib
akhir bagi orang yang tidak mencari Tuhan.
Pesan dan Penerapan
Warna utama perikop ini adalah undangan untuk mencari Tuhan, yang
berarti memusatkan perhatian pada upaya untuk menemui-Nya dalam kehidupan. Amos
mengulangi seruan Tuhan agar umat mencari-Nya, sebab Tuhan menjanjikan
kehidupan. Satu dua pesan dapat diambil dari perikop yang singkat ini.
Pertama, kehidupan keagamaan yang sejati terletak pada kesesuaian
antara ibadah dan praktik hidup. Perubahan-perubahan yang terjadi dengan tata
ibadah atau kebaktian selama masa pandemi Covid-19 agar dapat tetap berjumpa
dengan Tuhan mesti dibarengi juga dengan sikap hidup yang mencerminkan
kedekatan dengan-Nya. Jika tidak, orang sebenarnya sedang menghayati hidup
keagamaan yang palsu. Iman kepada Tuhan hanya dapat dihidupi dalam perbuatan
nyata, sebab iman tanpa perbuatan pada hakikatnya adalah mati (bdk. Yak. 2:17).
Kedua, hanya dalam Tuhan ada kehidupan yang sejati. Pandemi Covid-19
membuat semua orang seakan-akan kehilangan harapan dan kehidupan. Tuhan sendiri
dirasakan hilang dari tengah-tengah pergulatan hidup mati manusia. Namun,
sesungguhnya situasi sulit seperti ini merupakan ujian yang memurnikan
kehidupan iman dan keagamaan setiap pengikut Kristus.
Orang yang memiliki iman yang kokoh dan setia pada ajaran Katolik akan
berupaya untuk mencari jalan guna menemui Tuhan dalam kesatuan dengan umat-Nya.
Kehadiran satu sama lain adalah dukungan nyata bagi kehidupan bersama.
Kesetiaan pada ibadah secara daring, meskipun terlihat menghadirkan kemudahan,
tidak menghadirkan kebersamaan yang diajarkan oleh Gereja. Prinsip dasar dari
perayaan sakramen dalam Gereja adalah kehadiran yang nyata dari individu-individu
di dalam perayaan tersebut. Kebersamaan ini pada saatnya akan membantu setiap
orang beriman untuk peduli satu sama lain dan secara nyata menolong mereka
yang benar-benar membutuhkan, terdorong oleh sema-ngat kebersamaan dalam
keluarga iman. Kehidupan jemaat perdana bisa menjadi contoh bagi praktik iman
seperti ini.
Ketiga, Betel, Gilgal, dan Bersyeba menuntun ke arah yang salah. Tanpa
disadari, dalam situasi yang tidak menguntungkan ini, orang-orang berupaya
menemukan jalan keluar yang bisa menenangkan batin. Mereka melarikan diri dari
Tuhan dan mencari pemenuhan batin pada hal-hal yang makin menjauhkan diri
mereka dari-Nya. Mereka menciptakan zona nyaman dengan menciptakan Betel,
Gilgal, dan Bersyeba yang baru. Zona nyaman ini membuat mereka seakan-akan
menemukan ilah yang baru, yang memberikan kenyamanan dan yang sesuai dengan
keinginan mereka. Namun, sama seperti Yerobeam menodai Betel de-ngan membuat
patung anak lembu emas agar orang tidak lagi berziarah ke Yerusalem, zona
nyaman itu menjadi tandingan agar orang tidak lagi mengikuti pola-pola
tradisional dalam menghidupi iman mereka.
Yesus sendiri mengkritik gaya hidup orang Farisi dan para ahli Taurat.
Mereka memang mengetahui dengan baik seluk-beluk agama dan berupaya agar semua
orang menjalaninya dengan konsekuen. Sayangnya, mereka sendiri hanya
menjalankan hidup keagamaan mereka supaya dilihat orang (Mat. 23:5), padahal
hati mereka jauh dari Tuhan (Mrk. 7:6-7), sebagaimana yang dinubuatkan oleh
Nabi Yesaya (Yes. 29:13). Itulah sebabnya dengan amat tegas Yesus berkata,
“Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli
Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam
Kerajaan Surga” (Mat. 5:20). Dalam hidup beragama, antara puja-puji di bibir
dan praktik hidup nyata mesti bersesuaian.
Pertanyaan Pendalaman
- Bagaimana kita menilai kehidupan keagamaan kita selama masa pandemi ini?
- Di tengah banyaknya tawaran sekarang ini, tawaran mana yang dirasa lebih nyaman? Apakah hal itu mendekatkan diri kita dengan sesama dan dengan Tuhan?
- Zona nyaman mana yang membuat kita sulit keluar untuk kembali menjalani kehidupan keagamaan kita seperti sedia kala?
- Apa yang bisa kita buat untuk membantu diri kita dan sesama guna meningkatkan kehidupan keagamaan yang sejati?
Lihat juga: Tinjauan biblis pertemuan kedua BahanKatekese BKSN 2022
Semoga bermanfaat.
Terima kasih atas
kunjungannyan, Tuhan memberkati.