Revolusi Industri 4.0 Tantangan bagi Teologi Katolik
Revolusi Industri 4.0 yang mengusung kecerdasan buatan (artificial intelligence) menjadikan teknologi komunikasi tidak saja sekedar tantantan pastoral tetapi menjadi ancaman bagi teologi Katolik. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Dr. phil. Norbert Jegalus, MA ketika membawakan materi pada Musyawarah Pastoral (Muspas) Keuskupan Agung Kupang (KAK), Senin (24/2) di Rumah Retret Susteran SSpS Belo, Kota Kupang. Ia membawakan materi bertajuk Gereja sebagai persekutuan dan aplikasinya bagi keuskupan sebagai bahan masukan bagi peserta Muspas untuk masuk pada sharing kehidupan pastoral.
Keuskupan Agung Kupang Gelar Muspas 2020, Pastoral Digital jadi agenda pembahasan
Pesan Puasa 2020 Uskup Agung Kupang
Rabu Abu; Manusia hanyalah debu tetapi Allah Mahabelas-kasih
Lebih lanjut, pengajar filsafat pada Fakultas Filsafat Unika Widya Mandira Kupang ini menjabarkan bahwa the fourt industrial revolution harus diakui membawa banyak hal yang baru yang membuat manusia semakin mudah untuk berkomunikasi. Penggerak utamanya adalah internet dan teknologi baru seperti sensor nirkabel serta kecerdasan buatan. Ternyata teknologi hasil ciptaan akalbudi manusia itu menghasilkan tidak hanya akalbudi buatan tetapi juga indra buatan. Artificial Intelligence membuat pekerjaan manusia jauh lebih mudah. Munculnya mesin-mesin cerdas yang diprogram dan mampu bekerja dan bertindak seperti manusia, contohnya robot. Demikian juga Internet of Things (IoT) merupakan sistem yang menghubungkan segala sesuatu antara benda-benda dengan manusia. Koneksitas bisa terjadi tidak hanya antara manusia dengan manusia melainkan juga manusia dengan benda dan juga benda dengan benda. Karena itu kehadiran teknologi komunikasi mutakhir tidak hanya mempermudah dan memperlancar komunikasi antarmanusia tetapi juga telah mengubah cara berpikir manusia bahkan cara manusia memaknai hidupnya.
Dengan mencermati fakta-fakta yang disuguhkan oleh kemajuan teknologi tersebut, Doktor lulusan Jerman itu berpendapat bahwa saat ini internet bukan lagi sekadar alat tetapi sudah merupakan suasana yang mengelilingi kita. Dan oleh karena itu bagi Gereja tentu membawa keuntungan bagi pastoral tetapi juga tantangan bagi pastoral terutama karena revolusi industri ini hadir bersamaan dengan apa yang disebut generasi milenial.
Mengapa kaum milanial? Norbert menjelaskan bahwa merekalah penggerak utama revolusi industri ini. Kaum milenial memiliki gaya hidup, selera, cara berkomunikasi, bahasa dan bahkan prinsip hidup sendiri yang jauh berbeda dengan kaum tua. Generasi milenial adalah generasi digital yang cepat beradaptasi dengan teknologi digital. Internet sudah merupakan bagian hidup mereka.
Internet telah mengubah tidak hanya pola hidup tetapi juga cara berpikir kaum milenial.
Jika demikian keadaannya, lanjtnya, kenyataan ini akhirnya memberikan tantangan bukan hanya dalam bidang pastoral tetapi juga dalam memahami iman kristiani itu sendiri. Ia mencontohkan bahwa ada persoalan yang langsung menyangkut ajaran iman, seperti misalnya, apakah sah mengikuti perayaan ekaristi lewat layar dari rumah masing-masing atau media internet; atau pengakuan dosa lewat videocall. Itulah baginya tantangan terhadap teologi Katolik yang ia maksudkan.
Khusus tentang Ekaristi, begini ia memberikan pendasaran, berdasarkan teologi liturgi kita bahwa kehadiran dalam perayaan ekaristi bersifat hic et nunc (di sini dan sekarang) maka jawabannya tidak sah. Dengan layar televisi itu hanya bisa memenuhi persyaratan nunc yakni ada kesamaan waktu atau keserentakan antara yang mengikuti misa di Gereja dan yang mengikuti misa itu di rumah lewat layar. Tetapi persyaratan hic (di sini) sama sekali tidak dipenuhi. Perayaan Ekaristi adalah perayaan persekutuan yang hadir secara fisik satu dengan yang lain. Karena itu pengertian komunio dalam Ekaristi tidak hanya berarti persatuan dengan Kristus melainkan persatuan dengan sesama umat yang hadir di dalam perayaan Ekaristi itu.
Terhadap persoalan tersebur ia berpendapat bahwa yang menjadi refleksi bersama kita adalah bagaimana Gereja persekutuan itu menghadapi kemajuan teknologi komunikasi dengan segala tantangannya dengan mengingat Instruksi Pastoral Communio et Progressio tentang alat-alat komunikasi sosial. Dalam Instruksi itu ditegaskan bahwa tujuan komunikasi adalah communio et progressio (persekutuan dan kemajuan), dimana persekutuan manusiawi adalah persekutuan tidak hanya secara bathiniah tetapi juga secara lahiriah hic et nunc.
Sampai saat ini, tegas Norbert, Gereja tetap berpegang pada prinsip keterkaitan causa principalis (manusia) dan causa instrumentalis (alat), bahwa nilai dari alat tetap bergantung pada manusia yang menciptakan dan menggunakan. Oleh karena itu, ia menegaskan, apapun canggihnya alat-alat itu sampai menyerupai kesanggupan manusia, bagi Gereja, manusia tetap sebagai pihak yang berkomunikasi bukan alat. Itulah sebabnya, tambahnya, di dalam Gereja dan Internet dikemukakan bahwa orang dan komunitaslah yang merupakan elemen sentral untuk penilaian moral terhadap internet. Prinsip moral yang mendasar untuk penggunaan alat komunikasi adalah manusia: “Manusia dan komunitas manusia adalah tujuan dan ukuran pengunaan sarana komunikasi sosial. Komunikasi hendaknya dilakukan demi perkembangan orang-orang seutuhnya”. Itulah yang kita sebut komunikasi manusiawi.
Selain membahas tentang tantangan dalam hal teknologi komunikasi ini, ia juga membahas tantangan-tantangan lainnya yaitu tantangan sosial ekonomi, lingkungan hidup dan kerukunan sosial.
Aksi Puasa Pembangunan (APP) 2020; Membangun kehidupan ekonomi keluarga yang bermartabat
Terima kasih telah berkunjung, Tuhan memberkati.