Gereja Katolik Masape - Sejarah Iman dan Pelayanan yang Tak Terputus

Kapela Santu Paulus Masape

Masape, Alor — Perjalanan menuju kampung Masape pada Minggu, 10 Agustus 2025, bukan sekadar perjalanan fisik menembus jalan pegunungan yang rusak. Bagi saya, ini adalah ziarah iman menapaki jejak sejarah sebuah komunitas Katolik yang lahir dari penderitaan dan keberanian.

Pukul 06.30 kami berangkat dari Bukapiting menuju Masape. Setelah satu jam enam belas menit menempuh jalan berbatu dan menanjak, kami tiba di kapela di puncak pegunungan Alor Selatan itu pada pukul 07.46. Umat sudah berkumpul untuk mengikuti Ibadat Sabda. Kapela ini adalah satu dari enam kapela Paroki Bukapiting, Keuskupan Agung Kupang dan termasuk lima kapela yang berada di daerah gunung dengan akses jalan yang sulit. Karena keterbatasan tenaga imam, mereka hanya bisa dlayani Ekaristi sebulan sekali, sedangkan ibadat lainnya dipimpin guru agama setempat atau katekis yang diutus paroki.

Namun di balik kesederhanaan pagi ini, tersimpan kisah panjang yang dimulai hampir empat dekade lalu. Kisah panjang tersebut secara sekilas sebagai berikut.

Dari Baptisan Pertama hingga Awal Komunitas

Informasi yang saya dapatkan dari bincang-bincang dengan mereka sepulang ibadat, masuknya Katolik di Masape berawal pada tahun 1986, ketika Pastor Florante Llames, SVD datang ke kampung itu guna membaptis Agustina Kafomai. Di tahun yang sama, menurut penuturan mereka, ayahnya, Andreas Kafomai, bersama Terince Mabilehi dan Yusuf Kafomai, telah lebih dulu dibaptis di Kalabahi.

Empat tahun kemudian, pada 1990, Martinus Maimani, seorang Smaset/Diaken di gereja Protestan setempat, bersama enam rekannya, yaitu Manase Mailehi, Simon Kafomai, Yohanes Kafomai, Kornelis Mabilani, Martinus Kafomai, dan Daud Kafomai—menarik diri dari gereja karena adanya persoalan internal. Langkah ini memicu tuduhan berat atas mereka, hingga harus menghadapi tekanan dari aparat desa dan babinsa atas permintaan kepala desa.

Di tengah tekanan itu, mereka memutuskan mencari jalan baru. Bersama Karolus Mabilehi—ayah dari Terince yang beragama Protestan tetapi mendukung niat mereka—dan Andreas Kafomai, mereka menghadap Pastor Dagobertus Sota Ringgi, SVD selaku Pastor Paroki Gembala Baik Alor Pantar di Kalabahi, untuk meminta perlindungan sekaligus mengungkapkan niat menjadi Katolik. Pastor Dago menegaskan bahwa perpindahan agama harus lahir dari kesungguhan hati, namun ia bersedia membantu memfasilitasi pertemuan dengan Dandim Alor. Setelah duduk perkaranya jelas, mereka dibebaskan.

Perlawanan dan Keteguhan Iman

Sepulang dari Kalabahi, mereka mulai mempraktikkan iman Katolik dengan bimbingan kerabat dari Mainang. Rumah ibadat darurat pun didirikan dan aktivitas ibadat dilaksanakan. Penolakan sempat datang, termasuk pengrusakan tempat ibadat sementara, tetapi mereka tetap teguh. Berpindah-pindah lokasi, akhirnya pada 2008 mereka berhasil dibangunkan rumah ibadat permanen oleh Keuskupan, sebuah rumah ibadat yang anggun di tengah hamparan perbukitan dengan padang savana menghijau.

Kunjungan Perdana Pastor Paroki

Setahun berselang, pada 1991, Pastor Dago melakukan kunjungan perdana ke Masape. Kunjungan pastoral ini menjadi penanda bahwa komunitas Katolik tersebut resmi berdiri di bawah naungan Gereja universal. Ia datang melalui pusat stasi di Mainang. Umat Katolik Stasi Mainang pun hadir bersama untuk memberi dukungan kepada umat baru Masape. Kehadiran ini menjadi peneguhan bahwa perjuangan mereka mendapat tempat resmi dalam lingkup Gereja.

Saat ini komunitas Katolik Masape terdiri dari enam kepala keluarga (KK) dengan total 24 jiwa. Jumlah ini seteah dikurangi 1 KK yang pergi menetap di Mainang dan 3 KK yang merantau ke Kalimantan. Mereka yang tinggal, terus menjaga komunitas itu.

Pelayanan Hari Ini, Warisan Kemarin

Saat berdiri di hadapan umat pagi itu, saya melihat bahwa iman mereka adalah warisan yang hidup. Jalan rusak, jarak jauh, dan keterisolasian tidak memadamkan semangat. Kisah masa lalu yang penuh perjuangan kini menjadi fondasi keteguhan mereka di tengah keterbatasan pelayanan.

Masape mengajarkan bahwa Gereja bukan hanya bangunan, tetapi persekutuan umat yang berani memikul salib. Dan di puncak pegunungan ini, jauh dari hiruk pikuk kota, salib itu dipikul bersama—dengan senyum, doa, dan kesetiaan yang tak tergoyahkan. (Kenny Aprilio)

Bagikan artikel ini ke:

Klik untuk ke Perpustakaan:

Artikel Terbaru

    Jangan lewatkan

    Ibadat Sabda untuk Keluarga dan Lingkungan Umat Basis

    Lagu Misa Katolik - Referensi Terbaik Lagu-Lagu Misa

    Ibadat Sabda Lingkungan Terbaru, Teks Lengkap Siap Digunakan

    Ibadat Lingkungan Katolik Terbaru 2022

    Teks Ibadat Sabda Tanpa Imam Lengkap dengan Tata Caranya

    Ibadat Syukur Kelahiran Anak Tata Cara Katolik

    Daftar Lagu Misa Hari Raya Kemerdekaan Indonesia

    Lagu-Lagu Misa Pernikahan Katolik Terbaru

    Ibadat Sabda Arwah Tanpa Imam Lengkap dengan Bacaan dan Renungan

    Lagu-Lagu Misa Arwah Katolik