Ada Misa di Manegeng; Di Sini Biji Sesawi Iman Katolik Ditabur
RD. Alfons Nara Hokon | Manegeng, 5 Juli 2020 |
Paroki Santu Yakobus Rasul Bukapiting-Alor, Sidongkomang kembali menggelar Misa di kampung lama dalam program Turney Pastoral Kampung Leluhur Tahun 2020. Seri pertama turney itu telah dilaksanakan di Manegeng, Minggu (5/7/2020). Misa dipimpin oleh Pastor Paroki; RD. Alfons Nara Hokon dan dihadiri oleh ratusan umat dari berbagai kampung, yakni dari Arilau, Arimana, Atoita, Maumang, Waimi, Puiwela, Sumang, Saimang, Takaikul dan Manasamang. Beberapa orang jemaat Protestan juga tampak hadir.
Lihat juga:
- Turney pastoral kampung leluhur; Menapaktilasi perjalanan iman Katolik Paroki Bukapiting-Alor
- Dari Manasamang, turney pastoral kampung leluhur dimulai
- Sekilas sejarag gereja paroki Santu Yakobus Rasul Bukapiting-Alor
Untuk menggelar Misa ini, warga kampung Manegeng, dibantu warga kampung lainnya telah mempersiapkan segala sesuatu sejak sebulan terakhir di antaranya dengan penggalian jalan dan persiapan arena.
Sekitar pukul 15.00 wita, Sabtu (4/7) setelah melewati perjalanan menaiki gunung-gemunung dan menuruni lembah demi lembah dihiasi rinai hujan, Pastor Paroki, seorang Suster, Ketua DPP didampingi beberapa umat tiba di Manegeng disambut barisan panjang warga kampung. Warga dari kampung sekitar pun mulai berdatangan.
Masuknya Katolik di Manegeng
Adalah Laurensius Langwo, salah satu orang Manegeng sendiri yang membawa agama Katolik ke kampung tersebut sepulangnya dari tanah rantauan di Makasar pada tahun 1928 (92 tahun yang lalu). Oleh karena kondisi tertentu, iman itu dihidupinya secara 'rahasia' dalam keluarganya. Beberapa warga kampung turut diajak dalam doa-doa yang dibuat di belakang mesbah. Demikian diungkapkan dalam sapaan orang tua kampung sebelum misa dilaksanakan. Baru pada tahun 1947 (19 tahun kemudian) mereka berani membuka diri setelah tiga orang putra Manegeng dipermadikan secara Katolik di Kalabahi.
Romo Alfons dalam kotbahnya menekankan bahwa di Manegeng inilah biji sesawi iman katolik itu pertama kali ditabur walaupun dia tumbuhnya di tempat yang lain. Ia menambahkan lagi bahwa Kampung Manegeng menyimpan cerita kehadiran iman Katolik dan juga menjadi bukti nyata kemurahan kasih Allah lewat hasil-hasil alam yang dapat dipanen dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi pun pendidikan anak-anak.
Di suasana pagi yang cerah Minggu pagi itu, ketika nyanyian burung belum juga usai, dipadu gerak gemulai pucuk-pucuk bambu yang memagari kampung dan awan putih yang berkejaran di langit biru, kidung pujian anak manusia dikumandangkan. Umat berjejal sampai ke luar tenda. Kemiri, porang dan madu dipersembahkan sebagai tanda ungkapan syukur. Semua bersuka cita.
Warga kampung Manegeng |
Ketua Dewan Pastoral Paroki (DPP) St. Yakobus Rasul pada sambutannya seusai Misa menegaskan bahwa ungkapan syukur atas iman dan kekayaan alam harus dinyatakan dalam upaya memelihara dan mengembangkannya termasuk dengan menghargai dan menjaga apa yang menjadi milik orang lain.
Asal-usul kampung Manegeng
Berdasarkan penuturan Musa Asafa, seorang tetua kampung, Kampung Manegeng dibentuk oleh dua orang bernama Masa dan Letfa yang datang dari Langkuru-Alor Timur. Konon mereka berasal dari Timor Timur (Timor Leste) dan sebelum ke Langkuru, mereka sempat berdiam di Kiraman (pantai selatan Alor). Di Manegeng mereka tinggal dan beranak-pinak lalu mendirikan mesbah yang diberi nama Lonmaita.
Kemudian datang pula Langwate dari Bakapui dan mendiami sisi barat kampung yang disebut Mubai. Langwate juga mendirikan sebuah mesbah yang dinamai Kolmaita.
Hingga kini, keturunan dari ketiga orang yang membentuk Manegeng itu adalah Asafa, Maure, Laumai, Langasa dan Langwate yang mewarisi kampung tersebut.
Kampung Manegeng sendiri sempat ditinggalkan antara tahun 1960-1964 ketika umat katolik dari beberapa kampung direlokasi ke pemukiman baru di Molpui di mana di sana didirikan gereja/kapela dan sekolah. Manegeng benar-benar ditinggalkan saat terjadi perpindahan penduduk ke dataran Bukapiting pada tahun 1974. Dalam kurun waktu itu, warga kampung yang ke sana cuma sekedar untuk mengambil hasil tanaman lalu kembali. Kampung membelukar dan almang-almang musnah digerus waktu yang berlalu. Mungkin hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri hingga begitu banyak yang datang dalam Misa Minggu pagi itu.
Lihat juga:
Turney Pastoral kampung leluhur Paroki Bukapiting dilaksanakan pertama kali pada tahun 2019 dengan 4 seri Misa, yaitu di Manasamang, Maumang, Sumang dan Arimana. Turney ini digagas oleh Romo Alfons mengingat pada musim libur sekolah, banyak umat yang pergi ke kampung lama untuk mengambil hasil bumi. Sebagian kecil dari hasil bumi dipersembahkan dalam Misa sebagai kolekte yang hasil penjualannya dipergunakan untuk pembagunan gereja dan sarana fisik lainnya.
Lihat juga:
- Suster Crista Freitaler, SSpS; Tetap bugar melayani di usia senja
- Waspada Covid-19, Paroki Bukapiting jahit masker untuk umat
- Gereja Katolik Atengmelang; Buah tekad membaja
Terima kasih telah berkunjung, Tuhan memberkati.