Sr. Crista Freitaler, SSpS; Tetap Bugar Melayani di Usia Senja
Sr. Crista sedang bekerja di Klinik Sidongkomang |
Sebuah klinik kecil pada sebuah jalan desa di Sidongkomang, Desa Nailang, Kecamatan Alor Timur Laut, Paroki Santu Yakobus Rasul Bukapiting-Alor menjadi tempat bagi Sr. Crista Freitaler, SSpS berkarya melayani pasien setiap hari. Di klinik yang diberi nama Balai Pengobatan dan BKIA Santu Lukas itu hanya ia sorang diri yang melayani. Walaupun usianya sudah 80 tahun, ia tetap terlihat bugar dan enerjik dan dengan penuh dedikasi melayani pasien yang setiap hari datang ke klinik. Terkadang ia juga dijemput untuk tindakan medis di rumah orang-orang sakit.
Baca Juga:
- Sekilas sejarah Paroki Santu Yakobus Rasul Bukapiting-Alor
- Doa Paus Fransiskus untuk didoakan dalam doa Rosario bulan Mei 2020
- Waspada Covid-19, Paroki Bukapiting jahir masker untuk umat
Ketika ditemui di Biara SSpS Santa Elisabeth Sidongkomang, Senin (4/5/2020), misionaris kelahiran Austria – Eropa Tengah, 29 Oktober 1939 ini mengatakan, “Kami yang sudah tua ini harus ada tugas. Kalau hanya duduk-duduk saja kami loyo dan bisa mati cepat.” Ia menambahkan lagi, “Saya senang dengan tugas ini, melayani orang sakit. Ketika orang sakit yang saya layani itu bisa pulih dari sakitnya, itulah kebahagiaan buat saya.”
Suster Crista, begitu ia biasa disapa memulai karya misinya di Indonesia sejak tahun 1970. Tepatnya pada bulan Februari 1970 ia menginjakkan kaki di pulau Timor dan memulai tugasnya di Betun (kini ibukota kabupaten Malaka). Setelah enam tahun berkarya di sana, ia dipindahkan ke Halilulik dan melayani di situ selama enam tahun. Dari Halilulik, ia kemudian pindah ke Besikama lima tahun dan kembali lagi bertugas di Halilulik selama dua belas tahun.
Sejak Januari 2002 sampai dengan Agustus 2010, Suster yang menempuh pendidikan keperawatan di Amerika Serikat dan pendidikan kebidanan di Brisbane-Australia ini menyeberang ke pulau Alor untuk menangani klinik di Biara SSpS Santu Mikhael Tombang. Pada saat gempa dahsyat 12 November 2004 di Alor di mana daerah Bukapiting menjadi episentrumnya, Sr. Crista berupaya datang untuk menjenguk para suster di komunitas Sidongkomang dan memberikan pelayanan kesehatan bagi para korban gempa.
Dari Tombang, suster yang telah menjadi warga Negara Indonesia ini pindah ke Lahurus-Timor dan bertugas di situ selama enam tahun.
“Karena di Lahurus itu ada beberapa suster di klinik dan masing-masing dengan tugasnya, saya yang sudah tua ini kebanyakan di rumah saja,” kisahnya. Ia menambahkan bahwa untuk mengisi waktunya, ia membantu di kebun dan di gereja.
“Karena di Lahurus itu ada beberapa suster di klinik dan masing-masing dengan tugasnya, saya yang sudah tua ini kebanyakan di rumah saja,” kisahnya. Ia menambahkan bahwa untuk mengisi waktunya, ia membantu di kebun dan di gereja.
Kepindahannya ke Sidongkomang, katanya, atas ajakan seorang suster yang pernah bertugas di komunitas tersebut, yaitu Sr. Agnes Seuk, SSpS. Suatu waktu dalam sebuah pembicaraan melalui telfon, demikian ia berkisah, Sr. Agnes memberi pertimbangan bahwa perlu ada suster yang lebih senior di antara suster-suster muda yang ada di Biara Sidongkomang. Setelah mendapatkan persetujuan dari Provinsial. Akhirnya pada bulan Agustus 2016, Sr. Crista tiba di Sidongkomang untuk melanjutkan karya misinya di situ.
“Saya piker, Ah, ini sesuatu saya masih bisa buat, sehingga saya dengan senang hati datang ke sini,” ungkapnya sembari menambahkan, “Dalam pikiran, okelah, saya tahu diri, umur begini, kemampuan sudah terbatas, tenaga juga, tapi yang saya bisa buat, saya buat, saya sumbang saya punya diri dengan apa adanya.”
“Saya piker, Ah, ini sesuatu saya masih bisa buat, sehingga saya dengan senang hati datang ke sini,” ungkapnya sembari menambahkan, “Dalam pikiran, okelah, saya tahu diri, umur begini, kemampuan sudah terbatas, tenaga juga, tapi yang saya bisa buat, saya buat, saya sumbang saya punya diri dengan apa adanya.”
Sebagai misionaris yang jauh meninggalkan tanah kelahiran, ia menegaskan bahwa dirinya sejak tiba dan melayani di Timor sampai Alor selalu merasa terlindung dalam Tuhan sehingga ia tidak pernah merasa takut dan was-was.
“Tuhanlah yang membantu dan memampukan saya dalam melayani, apalagi bidang pelayanan saya ini cukup berresiko,” demikia ia beralasan.
Lagi pula, tambahnya, “Orang cari saya mau dibantu oleh saya, mana mereka mau jahat terhadap saya. Saya tidak pernah gelisah atau takut.”
“Tuhanlah yang membantu dan memampukan saya dalam melayani, apalagi bidang pelayanan saya ini cukup berresiko,” demikia ia beralasan.
Lagi pula, tambahnya, “Orang cari saya mau dibantu oleh saya, mana mereka mau jahat terhadap saya. Saya tidak pernah gelisah atau takut.”
Terakhir ia sempat berlibur ke Austria pada tahun 2018. Mengenai masa kecilnya di kampung halamannya serta awan ketertarikannya untuk menjadi misionaris, ia mengisahkan bahwa ia lahir saat bapaknya berada di medan perang (zaman perang dunia II). Saat berusia 4 tahun ia ditinggal oleh ibunya yang meninggal karena TBC. Bersama seorang adiknya laki-laki mereka tinggal bersama nenek-nenek mereka. Setelah perang usai, mereka sempat berkumpul bersama sang ayah tetapi karena ayah mereka kawin lagi maka ia dan adiknya diaturkan orangtua angkat oleh pemerintah dan tinggal secara terpisah.
“Saat usia muda, 16 tahun, Tuhan Yesus tangkap saya punya hati,” Katanya mengenang awal panggilannya menjadi biarawati. “Setelah tamat SMP, saya mengikuti kursus kerumahtanggan di ibukota dan pada suatu waktu, saya berkesempatan mengikuti para mahasiswa ke pegunungan untuk bantu ibu yang bertugas masak.” Ia melanjutkan kisahnya. “Karena saya suka baca, ibu itu memberikan saya sebuah buku tentang Santu Damian de Veuster berjudul Imam dari Orang Terbuang. Setelah membaca buku itu, saya berkata dalam hati, saya mau seperti ini, saya mau melayani orang-orang sakit.” Demikian ia mengenang.
Ia kemudian masuk Kongregasi SSpS, namun karena masih sangat muda maka ia dimasukkan dalam sekolah guru yang ada di biara sampai usianya memenuhi ketentuan untuk memulai proses pendidikan kebiaraan. Setelah menerima kaul pertama di Austria, ia langsung dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti pendidikan keperawatan selama tiga tahun ditambah praktik dua tahun. Karena ia mau studi kebidanan juga maka ia pergi ke Brisbane – Australia untuk mengambilnya.
“Saya senang dalam situasi seperti ini, situasi sederhana, orang masih bisa terbuka satu sama lain, tidak perlu kunci rumah, orang bisa bergaul dengan leluasa dengan tegur sapanya.” Kata Sr. Crista memberi kesan tentang situasi tempat pelayanannya di Bukapiting-Sidongkomang ini.
Sementara ketika ditanya menyangkut kehidupan menggereja umat Katolik di Bukapiting, ia menggarisbawahi bahwa umat sudah punya prinsip dan kesadaran dalam kehidupan menggereja terutama dalam mempersiapkan dan melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh Gereja namun ia melihat kurang adanya doa bersama dalam keluarga masing-masing dan juga kurang mengunjungi gereja untuk berdoa secara pribadi di depan Sakramen Mahakudus.
“Kalau kedua hal ini tekun dilakukan oleh umat, kehidupan agama dan menggereja akan berkembang lebih kuat lagi,” tegasnya.
“Jangan langgar lewat saja. Masuk bertemu dengan Tuhan Yesus dalam gereja. Dia ada di dalam tabernakel. Masuk dan doa di situ. Tunjukkan kamu punya kesulitan di situ, omong dengan Tuhan Yesus, tentang kerinduan, kejengkelan atau kemarahan. Beberkan di situ, di Hati Tuhan.” Ungkapnya mengakhiri pembicaraan.
“Kalau kedua hal ini tekun dilakukan oleh umat, kehidupan agama dan menggereja akan berkembang lebih kuat lagi,” tegasnya.
“Jangan langgar lewat saja. Masuk bertemu dengan Tuhan Yesus dalam gereja. Dia ada di dalam tabernakel. Masuk dan doa di situ. Tunjukkan kamu punya kesulitan di situ, omong dengan Tuhan Yesus, tentang kerinduan, kejengkelan atau kemarahan. Beberkan di situ, di Hati Tuhan.” Ungkapnya mengakhiri pembicaraan.
Sr. Crista juga melayani liturgi di paroki |
Terima kasih telah berkunjung, Tuhan memberkati.