SSpS dan 100 tahun karya Misi di Indonesia
SIC LÚCEAT LUX
SSpS merupakan singkatan dari Bahasa Latin Servae Spiritus Sancti yang artinya Abdi Roh Kudus adalah sebuah tarekat biarawati Katolik yang melakukan karya misi di seluruh dunia melalui pelayanan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan karya pastoral.
13 Januari 1917, 6 orang suster SSpS tiba di Lela-Flores. Enam misinaris itu, antara lain (tiga suster berkaul kekal) Suster Willibrorda Boumans, Suster Pulcheria Rehman, Suster Ludgarda Dingenouds, dan (tiga suster berkaul sementara) Suster Herminiana Denissen, Suster Ewaldine van den Biggelaar, dan Suster Xaveriana van der Sluis. Mereka tiba di Pantai Lela pada 13 Januari 1917 sore setelah melakukan perjalanan jauh dan melelahkan selama 72 hari, dimulai dari Steyl. Kedatangan enam suster pertama ke Flores pada tahun 1917 merupakan permintaan Petrus Noyen SVD, Prefek Apostolik Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara) yang menulis kepada Superior General SVD: “Kami sangat memerlukan mereka, jika tidak, hidup akan menjadi terlalu mahal”. Para suster datang untuk mendukung pekerjaan misionaris SVD. Sejak awal kedatangan mereka, para suster bekerja di tiga bidang: pendidikan, kesehatan, dan, karya pastoral. Di bidang pendidikan, seperti halnya karya suster-suster kongregasi lain di Hindia Belanda dan sebagai salah satu prioritas kongregasi mereka, fokus SSpS adalah pendidikan perempuan.
Karya misi di Flores sendiri sudah ada sejak abad keenambelas oleh para misionaris dari Portugis di sebahagian kecil Flores Timur dan Solor. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, khususnya sejak tahun 1859, misionaris Jesuit memulai karya misi mereka di Flores sejak tahun 1859 dan dilanjutkan oleh misionaris SVD (Societas Verbi Divini) sejak tahun 1913. SVD tidak hanya melakukan penyebaran agama Katolik dalam karya misinya, namun juga mendirikan sekolah-sekolah, pos-pos kesehatan, pertukangan, penerbit dan percetakan serta membuka lahan pertanian dan perkebunan. Karya misi SVD tersebar dari Flores timur hingga ke Flores barat.
Kehadiran para misionaris SSpSmengambil alih karya misi suster-suster Fransiscan Heythuizen yang telah berkarya di Flores sejak tahun 1879 dan suster-suster Cinta Kasih Tilburg sejak tahun 1890. Mereka mendirikan sekolah perempuan pertama serta rumah sakit dan klinik. Ketika susters-suster SSpS pertama tiba, sudah ada dua sekolah asrama di kota Larantuka dan Lela. Terdapat juga sebuah rumah sakit kecil di Larantuka dan sebuah klinik kecil di Lela. Para suster Tilburg meninggalkan wilayah misi mereka beserta 230 siswi di Lela pada bulan Januari 1917, sepuluh hari setelah kedatangan para suster SSpS. Selama masa keberangkatan para suster Tilburg dan kedatangan para suster SSpS, tugas utama di sekolah dan asrama diambil-alih oleh para perempuan Sikka yang sudah berpengalaman. Mereka kemungkinan adalah perempuan pertama yang bekerja di daerah ini sebagai guru. Untuk pelajaran bahasa Melayu, mereka mendatangkan dua perempuan dari sekolah di Larantuka.
SSpS secara resmi membuka cabang Indonesia di Flores dan mulai menerima perempuan lokal ke dalam kongregasinya pada tahun 1958 di Hokeng. Inisiatif pendirian ini berasal dari suster Gunthild Anna Gompelmann, yang menjabat sebagai SSpS Regional pada tahun 1952–1961. Empat kandidat suster pertama (tiga dari Flores dan satu dari Sumba Barat) memulai pendidikan mereka pada tanggal 1 Agustus 1954 di Lela. Empat belas hari kemudian, delapan perempuan lagi datang. Jumlah para murid meningkat pesat sehingga mereka harus pindah ke Hokeng dari rumah novisat mereka di Lela pada tahun 1958 dengan izin dari Uskup Larantuka, Mgr. Gabriel Manek, SVD. Pada tanggal 16 Juli 1964, tiga suster Flores mengucapkan kaul mereka sebagai suster SSpS di Rumah Regio Sanctissima Trinitas Hokeng. Kini, berawal dari 6 misionaris andal itu, SSpS berkembang menjadi lebih dari 750 anggota, dan berawal dari Lela itu, SSpS bertumbuh menjadi 5 wilayah provinsi.
Sebelum membuka cabang di Indonesia, SSpS juga turut andil dalam lahirnya 2 kongregasi suster lokal yaitu Congregatio Imitationis Jesu di Jopu pada tahun 1935 dan Putri Reinha Rosaro di Lebao pada tahun 1958. CIJ (Kongregasi Pengikut Yesus) didirikan oleh Uskup Leven, pada bulan Mei 1935 di Jopu. Pada tahun 1937 lima suster pertama mengucapkan kaul pertama mereka. Pada tahun 1940 kongregasi muda ini telah memiliki 16 anggota, di mana sebagian besar dari mereka masih calon dalam pelatihan. Mereka tinggal di Jopu, rumah utama mereka, di mana mereka memiliki sekolah berasrama untuk anak perempuan dan rumah retret. Selama pendudukan Jepang, para suster lokal ini bekerja sebagai guru dan mendapatkan ijin untuk membagikan komuni kudus yang telah diberkati oleh para romo. Setelah kemerdekaan Indonesia para suster CIJ mulai membuka komunitasnya di Jawa dan berbagai provinsi di Indonesia Timur. Sejak berdirinya sampai tahun 1965, Rumah Novisiat suster CIJ berada di bawah kepemimpinan suster-suster SSpS (Sr. Xaver, SSpS dan Sr. Reyneldis, SSpS).
Sementara itu Tarekat Puteri Reinha Rosari (PRR) yang pertama kali dibentuk di Lebao-Tengah (Flores Timur) pada tahun 1958 oleh Uskup Gabriel Manek. Suster Anfrida SSpS, diangkat menjadi pemimpin kongregasi suster lokal kedua di Flores ini. Para suster PRR ini memulai karya misionaris pertama mereka dengan mendirikan sekolah menengah untuk anak perempuan, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Reinha Rosari pada tahun yang sama.
Sejak tahun 1991, SSpS membuka komunitas di Kalabahi – Alor dan membatu karya pastoral di daerah tersebut. 10 tahun kemudian dibuka lagi komunitas baru di Sidongkomang.
Kongregasi Suster Abdi Roh Kudus (SSpS) didirikan pada tanggal 8 Desember 1889 di Steyl, Belanda oleh Arnold Janssen, yang juga adalah pendiri Kongregasi Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini, SVD), bersama-sama dengan dua suster berkebangsaan Jerman, Maria Helena Stollenwerk dan Josepha Hendrina Stenmanns. Pada awalnya, SSpS didirikan untuk mendukung dan melayani karya misi Katolik SVD di luar negeri. Dalam pembagian kerjanya, para romo menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan para bruder dan suster. Semua kantor administratif dan pengawasan disediakan bagi para romo, sedangkan para bruder adalah para pekerja yang mendukung tugas-tugas pelayanan spiritual para romo. Peran suster, seperti halnya bruder, sangatlah penting dalam tugas pendirian gereja, meski mereka lebih berperan sebagai fasilitator dari kegiatan-kegiatan para romo, seperti yang jelas tertera dalam rencana pendirian kongregasinya: “suster-suster misi diperlukan untuk melengkapi karya para misionaris”.
Pada awalnya, Helena dan Josepha bekerja sebagai pegawai di dapur rumah misi SVD. Sebelumnya, Helena telah menyampaikan keinginannya kepada Arnold Janssen untuk menjadi misionaris, namun Arnold Janssen mengatakan: “Sejauh ini tidak ada biara bagi misionaris perempuan di wilayah kami”. Dan ia menambahkan “Bukannya tidak mungkin bahwa suatu saat nanti saya akan mendirikannya, namun saya perlu tahu dengan jelas kehendak Tuhan terlebih dahulu”. Sementara itu pula, semakin banyak perempuan muda yang bergabung dan bekerja sebagai sebagai pegawai di dapur dan baru tujuh tahun kemudian Arnold Janssen akhirnya mendirikan biara bagi suster-suster misionaris. Tugas utama para suster adalah: 1) Devosi (penyerahan diri secara menyeluruh) khusus kepada Roh Kudus; 2) Partisipasi dalam Kerja Misi melalui doa dan karya, khususnya karya misi romo SVD; dan 3) Secara khusus, doa bagi para romo dan bagi kemuliaan penerimaan Sakramen Kudus.
Di samping kongregasi SSpS, Arnold Janssen juga mendirikan sebuah cabang kongregasi yang bersifat kontemplatif yakni Suster Abdi Roh Kudus Penyembah Abadi atau SSpS.Ap (Congregatio Servarum Spiritus Sancti de Adoratione Perpetua) pada tanggal 8 September 1896. Kongregasi SSpS.AP bertujuan untuk melakukan doa dan kontemplasi, sedangkan kongregasi SSpS, ditujukan untuk suster-suster yang aktif baik berdoa maupun melakukan “pekerjaan yang sesuai dengan jenis kelamin mereka” (work appropriate to their sex) dalam berbagai bidang di masyarakat. Pada sejarah awal pendirian kongregasi SSpS ini dapat kita lihat relasi sub-ordinasi rohaniwan perempuan oleh laki-laki dalam Katolik. Perempuan tidak mempunyai otoritas untuk mendirikan kongregasi bagi diri mereka sendiri dan tergantung pada Arnold Janssen. Hal ini juga menunjukkan adanya ranah yang terpisah namun saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan dalam kongregasi SVD dan SSpS.
Perayaan Yubileum 100 tahun SSpS di Alor dipusatkan di Kapela St. Arnoldus Janssen Apui, Paroki St. Yakobus Rasul Bukapiting-Alor. 2 Komunitas SSpS di Alor yakni KOmunitas Sidongkomang dan Komunitas Tombang bergabung dalam perayaan itu pada Pesta St. Arnoldus Janssen (Pendiri Kongregasi), Minggu (15/1/2017). Para suster telah berada di Apui untuk mengadakan triduum dan mempersiapkan perayaan itu bersama umat setempat.
Selamat merayakan Yubileum 100 Karya Misi di Indonesia bagi para Suster SSpS.
Sumber utama : Maria Ingrid Nabubhoga (etnohistori.org) dan berbagai sumber lainnya
Berita lainnya :
Profil Paroki Santu Yakobus Rasul Bukapiting Alor
Terima kasih atas kunjungannya, Tuhan memberkati